Pada suatu hari, di sebelah utara kota Garut, ada sebuah desa yang mayoritas penduduknya bekerja sebagai petani. Tanah di desa ini memang terkenal sangat subur dan memiliki sumber air yang sangat bagus, sehingga hasil padi yang dihasilkan para petani di desan ini sangat berkualitas. Meski sebenarnya bisa dibilang desa ini adalah desa yang kaya, para warga di sana masih hidup di dalam kemiskinan. Hal ini disebabkan oleh kehadiran seorang tengkulak pelit yang kaya raya bernama Nyai Endit.
Nyai Endit ini adalah perempuan kaya yang tinggal di desa itu. Sejak suami Nyai Endit meninggal, ia mendapatkan warisan kekayaan yang berlimpah yang pada akhirnya membuatnya menjadi perempuan yang kikir dan sombong. Nyai Endit sering kali memaksa para petani di desa untuk menjual padi mereka dengan harga yang sangat murah, di bawah harga rata-rata padi pada umumnya. Namun, ketika persediaan beras warga di sana habis dan harus membelinya pada Nyai Endit, ia akan menjualnya dengan harga yang sangat mahal. Tentu saja hal ini membuat para warga pusing dan tersiksa.
Harta yang berlimpah ini membuat Nyai Endit menjadi semakin menjadi-jadi. Bukan hanya sering menekan para warga dan petani di sana, Nyai Endit juga bahkan tidak pernah mau membantu orang-orang di sekitarnya yang sedang dilanda kesusahan. Nyai Endit hanya sibuk memikirkan harta kekayaannya sendiri. Setiap kali ada orang yang datang ke rumah Nyai Endit untuk meminta bantuan, Nyai Endit akan mengusir mereka dan enggan menolong mereka walau sebenarnya mereka hanya membutuhkan sedikit bantuan.
“Ini semua, kan, hartaku! Kenapa aku harus berikan apa yang aku miliki pada mereka? Jika mereka ingin memiliki banyak harta dan tidak hidup susah sepertiku, kenapa ia tidak bekerja lebih giat saja?! Mereka hanya bisa meminta-minta!” Ucap Nyai Endit tiap ada yang datang ke rumahnya untuk meminta bantuan. Tentu saja para warga sebenarnya sudah bekerja dengan sangat giat dan sangat keras. Namun, karena tekanan yang diberikan Nyai Endit pada mereka, mereka tidak bisa mendapatkan hasil yang sebanding dengan kerja keras mereka.
Dibandingkan menggunakan hartanya untuk hal-hal baik atau bermanfaat, Nyai Endit lebih senang menggunakannya untuk berfoya-foya dan berpesta di desa. Di saat ia sedang asik berpesta dengan para warga desa, Nyai Endit akan menggunakan waktu berpesta ini untuk menyombongkan kekayaannya pada warga. Tentu saja pesta yang diadakan oleh Nyai Endit ini memiliki dampak yang buruk bagi para warga. Pesta yang diadakan ini selalu membuat para penduduk desa kehabisan bahan makanan. Bahkan, beberapa di antaranya mulai menderita kelaparan karena mereka tidak bisa mendapatkan bahan makanan selama berhari-hari.
Hingga pada suatu hari, ada seorang warga yang mengeluhkan kondisinya karena beras di rumahnya akan habis dan ia terpaksa harus membelinya pada Nyai Endit. Warga lainnya menjawab keluhannya dengan cerita yang lebih sedih, katanya Nyai Endit kini menjual beras dengan harga 15 kali lipat lebih mahal dari harga saat mereka menjualnya. Mereka hanya bisa duduk pasrah sambil memikirkan nasib keluarganya harus makan apa malam ini.
Lalu pada suatu hari yang terik, Nyai Endit kembali mengadakan pesta besar-besaran. Hal ini membuat para warga semakin khawatir karena kemungkinan musim kemarau akan tiba dan mereka akan kesulitan menanam padi sementara waktu. Lalu, datanglah seorang pengemis tua yang meminta makanan pada Nyai Endit. Pengemis tua ini terlihat sangat lusuh dan lemas seperti ia belum makan selama berhari-hari.
Nyai Endit pun merasa risih dengan kehadiran pengemis tua ini. Nyai Endit mencoba mencari penjaga untuk mengusirnya. Akhirnya si pengemis tua itu pun diusir secara paksa tanpa mendapatkan bantuan sedikit pun dari Nyai Endit. Setelah itu, Nyai Endit kembali menikmati pestanya.
Di keesokan harinya, pikiran Nyai Endit masih dihantui oleh pengemis tua yang datang ke pestanya. Ia masih merasa risih ada seorang pengemis yang dengan seenaknya berani mendatangi dirinya dan pestanya. Saat Nyai Endit pergi keluar rumah untuk berjalan-jalan, ia menemukan sesuatu yang cukup janggal. Di sebuah jalan di desa tersebut, ada sebuah tongkat yang tertancap ke dalam tanah. Anehnya, tidak ada satu warga pun yang berhasil mencabut tongkat ini. Bahkan, beberapa warga mencoba mencabutnya secara bersamaan. Namun, hal itu tidak juga berhasil. Nyai Endit pun ikut penasaran dan ingin mencoba mencabutnya, tapi tiba-tiba pengemis tua yang datang ke pestanya kemarin muncul lagi. Nyai Endit pun merasa risih lagi dan mulai memarahinya.
“Ternyata kamu kembali lagi ke sini, pengemis tua! Jangan-jangan tongkat aneh ini ulahmu, ya!” Ujar Nyai Endit dengan nada yang tinggi. Ia pun menyuruh pengemis tua itu untuk mencoba mencabutnya. Sang pengemis tua itu pun mendekati tongkat yang tertancap ke dalam tanah itu. Dengan mudahnya, ia berhasil mencabutnya. Hal ini membuat semua warga yang melihatnya kaget bukan main.
Setelah berhasil dicabut, tiba-tiba muncul sumber air yang sangat deras hingga akhirnya air ini memenuhi tempat itu. Para warga pun berlari dan berbondong-bondong menyelamatkan diri mereka agar mereka tidak tenggelam. Alih-alih menyelamatkan diri, Nyai Endit malah memilih untuk menyelamatkan hartanya terlebih dahulu. Meski air sudah membanjiri desa, Nyai Endit tidak ingin meninggalkan harta dan berbagai perhiasannya. Akhirnya, ia pun tenggelam bersama hartanya.
Desa ini pun akhirnya tenggelam menjadi sebuah danau yang dinamakan Situ Bagendit. ‘Situ’ memiliki arti danau, sedangkan ‘Bagendit’ berasal dari nama Nyai Endit. Konon, jika ada yang berkunjung ke sana dan melihat lintah yang sangat besar di dasar danau, itu adalah jelmaan sosok Nyai Endit yang tidak berhasil kabur.